Minggu, 10 September 2017

Geomorfologi dan klasifikasi Tanah

Geomorfologi dan klasifikasi Tanah

1. Geomorfologi Tanah
       Geomorfologi sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang lebih kurang dapat diartikan  “perubahan-perubahan pada bentuk muka bumi”. Akan tetapi secara umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang alam, yaitu meliputi bentuk-bentuk umum roman muka bumi serta perubahanperubahan yang terjadi sepanjang evolusinya dan hubungannya dengan keadaan struktur di bawahnya, serta sejarah perubahan geologi yang diperlihatkan atau tergambar pada bentuk permukaan itu. Dalam bahasa Indonesia banyak orang memakai kata bentangalam sebagai terjemahan geomorfologi, sehingga kata geomorfologi sebagai ilmu dapat diterjemahkan menjadi Ilmu Bentangalam. Selain itu, kata geomorfologi dipakai pula untuk menyatakan roman muka bumi, umpamanya bila orang menceriterakan keadaan muka bumi suatu daerah dapat dikatakan pula orang menceritakan geomorfologi daerah itu atau bentangalam daerah itu.
            Geomorfologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk muka bumi yang terjadi karena kekuatan-kekuatan yang bekerja baik yang ada di dalam bumi ataupun kekuatan yang berasal dari luar bumi. Daratan merupakan pokok kajian utama di dalam studi geomorfologi. Secara luas berhubungan dengan landform (bentuk lahan) tererosi dari batuan yang keras, namun bentuk konstruksinya dibentuk oleh runtuhan batuan, dan terkadang oleh perolaku organisme di tempat mereka hidup. “Surface” (permukaan) jangan diartikan secara sempit, harus termasuk juga bagian kulit bumi yang paling jauh. Kenampakan subsurface terutama di daerah batugamping sangat penting dimana sistem gua terbentuk dan merupakan bagian yang integral dari geomorfologi Tanah sebagai unsur utama pembentuk bentang alam (landscape) terbentuk dari interaksi yang sangat kompleks dari faktor iklim, bahan induk (parent material) atau batuan induk (parent rock), vegetasi dan makhluk hidup lain, seperti biota tanah, topografi, aktifitas manusia, erosi, gejala tektonik, vulkanik, sedimentasi dan sebagainya.
           Beberapa pakar menyebutkan bahwa bahan dan batuan induklah yang menentukan sifat fisika dan kimia tanah yang akan terbentuk. Hal tersebut mengingat bahwa bahan atau batuan induk menjadi bahan baku pertama yang berubah menjadi tanah sejalan dengan perubahan waktu. Jenis batuan tersebut dengan demikian sangat menentukan arah perkembangan dan pembentukan tanah tahap berikutnya, misalnya kekayaan hara dan ph tanah. Pendapat lain menyebutkan bahwa faktor iklim yang sangat menentukan, apapun jenis bahan dan batuan induk jika kondisi iklimnya sama maka hasil akhir tanah yang terbentuk tetap sama. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa vegetasi dan biotalah yang menjadi penentu sifat fisika dan kimia tanah.
     Vegetasi akan mampu mengubah iklim mikro yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor pembentuk tanah. Vegetasi juga berperan penting dalam pendauran hara dan menjamin kehidupan biota tanah yang akan menentukan kesuburan tanah atau ketersediaan hara. Terlepas dari pertentangan pendapat tersebut, kiranya dapat dilihat bahwa bahan induk, vegetasi, waktu, iklim, topografi, dan lainya secara bersamaan membentuk tanah hingga perkembangannya menjadi tanah dewasa. Seluruh faktor tersebut secara bersamaan adalah keseimbangan suatu system ekologi yang disebut sebagai ekosistem.
         Batuan yang terdedah (exposed) terhadap udara luar akan mangalami perubahan baik secara fisika maupun kimia. Perubahan sifat fisika misalnya terjadi karena pemanasan dan pendinginan terhadap batuan yang langsung terkena sinar matahari. Didaerah tropis yang lembab dan basah, batuan yang terdedah tersebut dipercepat perubahan kimianya dengan kehadiran air sebagai pelarut dan sekaligus pereaksi.
        Air juga berperan dalam proses pengangkutan dan sedimentasi tanah. Pengangkutan tanah dimulai dari peristiwa erosi yang disebabkan oleh pukulan butiran hujan yang jatuh dipermukaan tanah. Didalam hutan butiran hujan tersebut sebenarnya telah ditahan pukulannya melalui tajuk pohon. Selain itu adanya stratifikasi tajuk hingga semak yang akhirnya masih ditahan oleh serasah dilantai hutan yang juga dapat mengurangi energi jatuhan air hujan. Namun demikian, air yang mengalir melalui batang juga dapat membentuk aliran permukaan yang menghanyutkan lapisan atas tanah. Pengangkutan butiran tanah yang terlepas tersebut berlangsung lebih intensif pada permukaan tanah yang miring. Jika energi dari aliran permukaan tersebut tidak mampu lagi mengangkut tanah yang terkikis maka tanah mulai diendapkan. Pada keadaan inilah proses sedimentasi dimulai.
       Sedimentasi yang membentuk tanah alluvial merupakan salah satu mekanisme pembentukan tanah. Tanah alluvial sering disebut-sebut sebagai tanah yang cocok untuk penggunaan dibidang pertanian dikawasan tropis. Namun demikian, tidak selalu berlaku umum. Sedimentasi yang menghasilkan tanah yang subur hanya jika sedimentasi tersebut memang berasal dari tanah yang tererosi yang juga subur.
     Pembentuka tanah lainnya yang disitilahkan dengan podsolisasi dan laterisasi merupakan terminologi yang digunakan pada proses pembentukan tanah yang mengarah pada hasil akhir tanah podsolik dan latosol. Konsep tersebut sebenarnya digunakan pada masa-masa awal perkembangan ilmu tanah. Dekade terakhir ini telah dibuat suatu sistem klasifikasi dan pedogenesis yang jauh lebih komprehensif dan rinci.

2. Klasifikasi Tanah
      Tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti dinamika iklim, topografi/geografi, dan aktivitas organisme biologi. Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperoleh klasifikasi umum yang dapat membantu dalam memprediksi perilaku tanah ketika mengalami pembebanan.
      Metode yang telah dibuat didasarkan pada pengalaman yang diperoleh dalam perancangan fondasi dan riset. Dari sini, tanah fondasi yang ditinjau menurut klasifikasi tertentu dapat diprediksi perilakunya, yaitu didasarkan pada pengalaman di lokasi lain, namun memiliki tipe tanah yang sama. Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk. Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya  berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk.
          Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961)[1] yang masih dirujuk hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan 1982.
        Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS). Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
         Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun 1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
    
* Klasifikasi tanah sistem USDA
Tanah merupakan zat bentukkan alam yang terdiri dari mineral, udara, air dan bahan organik.  Di berbagai belahan bumi ini terdapat berbagai macam jenis tanah dengan karakteristik masing-masing. Untuk memudahkan pengenalan jenis tanah tersebut maka dibutuhkan sistem klasifikasi. Salah satu sistem klasifikasi tanah yang masih dipakai saat ini adalah sistem USDA (United States Department of Agriculture) tahun 1975 atau miliknya negara Amerika. USDA mengklasifikasikan tanah berdasarkan sifat utama dari tanah tersebut. Ciri khas dari penamaan jenis tanahnya adalah semua berakhiran "sol" yaitu sebagai berikut :
1. Entisol
     Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Kata Ent berarti recent atau baru. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial atau Regosol.
     
2. Vertisol
     Tanah yang termasuk ordo Vertisol merupakan tanah dengan kandungan liat tinggi (lebih dari 30%) di seluruh horison, mempunyai sifat mengembang dan mengkerut. Kalau kering tanah mengkerut sehingga tanah pecah-pecah dan keras. Kalau basah mengembang dan lengket. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Grumusol atau Margalit.

3. Inceptisol
     Tanah yang termasuk ordo Mollisol merupakan tanah dengan tebal epipedon lebih dari 18 cm yang berwarna hitam (gelap), kandungan bahan organik lebih dari 1%, kejenuhan basa lebih dari 50%. Agregasi tanah baik, sehingga tanah tidak keras bila kering. Kata Mollisol berasal dari kata Mollis yang berarti lunak. Padanan dengan sistem kalsifikasi lama adalah termasuk tanah Chernozem, Brunize4m, Rendzina, dll.

4. Aridisol
     Tanah yang termasuk ordo Aridisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai kelembapan tanah arid (sangat kering). Mempunyai epipedon ochrik, kadang-kadang dengan horison penciri lain. Padanan dengan klasifikasi lama adalah termasuk Desert Soil.

5. Mollisol
     Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti permulaan. Umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol, Gleihumus, dll.

6. Spodosol
     Tanah yang termasuk ordo Spodosol merupakan tanah dengan horison bawah terjadi penimbunan Fe dan Al-oksida dan humus (horison spodik) sedang, dilapisan atas terdapat horison eluviasi (pencucian) yang berwarna pucat (albic). Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzol.
     
7. Alfisol
     Tanah yang termasuk ordo Alfisol merupakan tanah-tanah yang terdapat penimbunan liat di horison bawah (terdapat horison argilik)dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air. Padanan dengan sistem klasifikasi yang lama adalah termasuk tanah Mediteran Merah Kuning, Latosol, kadang-kadang juga Podzolik Merah Kuning.

8. Ultisol
     Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu.

9. Oxisol
     Tanah yang termasuk ordo Oxisol merupakan tanah tua sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit. Kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif sehingga kapasitas tukar kation (KTK) rendah, yaitu kurang dari 16 me/100 g liat. Banyak mengandung oksida-oksida besi atau oksida Al. Berdasarkan pengamatan di lapang, tanah ini menunjukkan batas-batas horison yang tidak jelas. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Latosol (Latosol Merah & Latosol Merah Kuning), Lateritik, atau Podzolik Merah Kuning.

10. Histosol
     Tanah yang termasuk ordo Histosol merupakan tanah-tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% (untuk tanah bertekstur pasir) atau lebih dari 30% (untuk tanah bertekstur liat). Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Kata Histos berarti jaringan tanaman. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Organik atau Organosol.
     
* Klasifikasi tanah pusat penelitian tanah Bogor
Pusat  Penelitian  Tanah  (PPT)  Bogor  melakukan  penyempurnaan  sistem  klasifikasi tanah  Dudal  dan  Suparaptoharjo  tersebut  pada  tahun  1982.   Pada  modifikasi  ini  terdapat pengaruh dari sistem FAO/UNESCO. Perbaikan yang dilakukan  seperti  tidak digunakannya warna tanah sebagai kriteria penciri pada kategori Macam. Ini dikarenakan warna tanah tidak memperlihatkan  sifat  lain  yang  nyata  dari  tanah.  Terjadi  juga  perubahan  nama  tanah  dari Regur  menjadi  Grumosol,  Podsolik  Merah  Kuning  menjadi  Podsolik,  Hidrosol  dan  Tanah Sawah dihilangkan dalam sistem klasifikasi tanah.  Dalam sistem klasifikasi tanah PPT-Bogor dikenal 20 golongan tanah yaitu:
     
1.      Organosol:  merupakan  tanah  yang  mempunyai  horison  histik  setebal  50  cm atau  lebih dengan bulk density (berat volume) yang rendah.
2.      Litosol:  merupakan  tanah  yang  dangkal  yang  terdapat  pada  batuan  yang kukuh  sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah.
3.      Ranker:  merupakan tanah dengan horison A umbrik dengan ketebalan 25 cm dan tidak mempunyai horison daignostik lainnya.
4.      Rendzina:  merupakan  tanah  dengan  horison  A  molik  yang  terdapat  diatas batu  kapur dengan kadar kalsium karbonat lebih dari 40 persen.
5.      Grumosol: merupakan tanah dengan kadar liat lebih dari 30 persen, bersifat mengembang jika  basah  dan  retak-retak  jika  kering.   Retak  (crack)  dengan lebar  1  cm  dan  dengan kedalaman retak hingga 50 cm dan dijumpai gilgai atau struktur membaji pada kedalaman antara 25 – 125 cm dari permukaan.
6.      Gleisol:  merupakan tanah yang memperlihatkan sifat hidromorfik pada kedalaman 0 –  50 cm dari permukaan dan dijumpai horison histik, umbrik, molik, kalsik atau gipsik.
7.      Aluvial:  merupakan  tanah  yang  berkembang  dari  bahan  induk  alluvial  muda, terdapat stratifikasi dengan kadar C organik yang tidak teratur. Horison permukaan dapat berupa horison A okrik, horison histik atau sulfuric.
8.      Regosol:  merupakan  tanah  yang  bertekstur  kasar  dari  bahan  albik  dan  tidak dijumpai horison penciri lainnya kecuali okrik, hostol atau sulfuric dengan kadar pasir kurang dari 60 persen pada kedalaman antara 25 – 100 cm dari permukaan tanah.
9.      Koluvial :  merupakan  tanah  yang  tidak  bertekstur  kasar  dari  bahan  albik, tidak mempunyai horison diagnostik lainnya kecuali horison A umbrik, histik atau sulfurik.
10.  Arenosol:  merupakan  tanah  yang  bertekstur  kasar  dari  bahan  albik  yang terdapat  pada kedalaman  kurang  dari  50  cm  dari  permukaan  tanah  dan  hanya mempunyai  horison  A okrik.
11.  Andosol:  merupakan  tanah  yang  berwarna  hitam  sampai  coklat  tua  dengan kandungan bahan organik tinggi, remah dan porous, licin (smeary) dan reaksi tanah antara 4.5  –  6.5. Horison  bawah-permukaan  berwarna  coklat  sampai  coklat kekuningan  dan  kadang dijumpai  padas  tipis  akibat  semenatsi  silika.   Horison A  dapat  terdiri  dari  molik  atau umbrik yang terdapat diatas horison kambik. Cri lainnya adalah BV rendah (< 85 g/cm) dan kompleks pertukaran didominasi oleh bahan amorf. Tanah ini dijumpai pada daerah dengan  bahan  induk  vulkanis  mulai dari  pinggiran  pantai  sampai  3000  m  diatas permukaan  laut  dengan  curah hujan  yang  tinggi  serta  suhu  rendah  pada  daerah  dataran tinggi.
12.  Latosol:  merupakan  tanah  yang  mempunyai  distribusi  kadar  liat  tinggi (>60%),  KB  < 50%, horison A umbrik dan horison B kambik.
13.  Brunizem:  merupakan  tanah  yang  mempunyai  distribusi  kadar  liat  tinggi (>60%), gembur, KB > 50%, horison A molik dan horison B kambik.
14.  Kambisol:  merupakan tanah yang  mempunyai horison B kambik dan horison A umbrik atau molik, tidak terdapat gejala hidromorfik.
15.  Nitosol:  merupakan  tanah  yang  mempunyai  horison  B  argilik  dengan penurunan  liat kurang dari 20% terhadap liat  maksimum, tidak ada plintit, tidak mempunyai sifat vertik tetapi mempunyai sifat ortoksik (KTK dengan amoniumasetat < 24 cmpl/kg liat).
16.  Podsolik:  merupakan tanah yang mempunyai horison B argilik, kejenuhan basa < 50% dan tidak mempunyai horison albik.
17.  Mediteran:  merupakan tanah yang mempunyai horison argilik dengan kejenuhan basa > 50% dan tidak mempunyai horison albik.
18.  Planosol:  merupakan tanah yang mempunyai horisol E albik yang terletak diatas horison argilik  atau  natrik,  perubahan  tekstur  nyata,  adanya  liat  berat  atau fragipan  di  dalam kedalam 125 cm. Pada horison E albik dijumpai cirri hidromorfik.
19.  Podsol: merupakan tanah yang mempunyai horison B spodik.
20.  Oksisol: merupakan tanah yang mempunyai horison B oksik

* Klasifikasi tanah menurut UNESCO/FAO

1. Fluvisol           : Tanah-tanah berasal dari endapan baru, hanya mempunyai horison
penciri ochrik, umbrik, histik atau sulfurik, bahan organik menurun tidak teratur dengan kedalaman, berlapis-lapis.
2. Gleysol            : Tanah dengan sifat-sifat hidromorfik (dipengaruhi air sehingga
berwarna  kelabu, gley dan lain-lain), hanya mempunyai epipedon ochrik, histik,  horison kambik, kalsik atau gipsik.
3. Regosol           : Tanah yang hanya mempunyai epipedon ochrik. Tidak termasuk
bahan endapan baru, tidak menunjukkan sifat-sifat hidromorfik, tidak bersifat mengembang dan mengkerut, tidak didominasi bahan amorf. Bila bertekstur pasir, tidak memenuhi syarat untuk Arenosol.
4. Lithosol           : Tanah yang tebalnya hanya 10 cm atau kurang, di bawahnya terdapat
lapisan batuan yang padu.
5. Arenosol          : Tanah dengan tekstur kasar (pasir), terdiri dari bahan albik yang terdapat pada kedalaman 50 cm atau lebih, mempunyai sifat-sifat sebagai horison argilik, kambik atau oksik, tetapi tidak memenuhi syarat karena tekstur yang kasar tersebut. Tidak mempunyai horison penciri lain kecuali epipedon ochrik. Tidak terdapat sifat hidromorfik, tidak berkadar garam tinggi.
6. Rendzina         : Tanah dengan epipedon mollik yang terdapat langsung di atas batuan
kapur.
7. Ranker             : Tanah dengan epipedon umbrik yang tebalnya kurang dari 25 cm. Tidak ada horison penciri lain.
8. Andosol          : Tanah dengan epipedon mollik atau umbrik atau ochrik dan horison kambik, serta mempunyai bulk density kurang dari 0,85 g/cc dan
didominasi bahan amorf, atau lebih dari 60 % terdiri dari bahan vulkanik vitrik, cinder, atau pyroklastik vitrik yang lain.
9. Vertisol           : Tanah dengan kandungan liat 30 % atau lebih, mempunyai sifat
mengembang dan mengkerut. Kalau kering tanah menjadi keras, dan
retak-retak karena mengkerut, kalau basah mengembang dan lengket.
10. Solonet           : Tanah dengan horison natrik. Tidak mempunyai horison albik dengan
sifat-sifat hidromorfik dan tidak terdapat perubahan tekstur yang tiba-
tiba.
11. Yermosol        : Tanah yang terdapat di daerah beriklim arid (sangat kering), mempunyai epipedon ochrik yang sangat lemah, dan horison kambik, argilik, kalsik atau gipsik.
12. Xerolsol           : Seperti Yermosol tetapi epipedon ochrik sedikit lebih berkembang.
13. Kastanozem    : Tanah dengan epipedon mollik berwarna coklat (kroma > 2), tebal 15 cm atau lebih, horison kalsik atau gipsik atau horison yang banyak
mengandung bahan kapur halus.
14. Chernozem      : Tanah dengan epipedon mollik berwarna hitam (kroma < 2) yang
tebalnya 15 cm atau lebih. Sdifat-sifat lain seperti Kastanozem.
15. Phaeozem        : Tanah dengan epipedon mollik, tidak mempunyai horison kalsik,
gipsik, tidak mempunyai horison yang banyak mengandung kapur halus.
16. Greyzem          : Tanah dengan epipedon mollik yang berwarna hitam (kroma < 2), tebal 15 cm atau lebih, terdapat selaput (bleached coating) pada permukaan
struktur tanah.
17. Cambisol          : Tanah dengan horison kambik dan epipedon ochrik atau umbrik, horison kalsik atau gipsik. Horison kambik mungkin tidak ada bila mempunyai
epipedon umbrik yang tebalnya lebih dari 25 cm.
18. Luvisol            : Tanah dengan horison argillik dan mempunyai KB 50 % atau lebih.
Tidak mempunyai epipedon mollik.
19. Podzoluvisol   : Tanah dengan horison argillik, dan batas horison eluviasi dengan
Horison di bawahnya terputus-putus (terdapat lidah-lidah horison eluviasi = tonguing).
20. Podsol             : Tanah dengan horison spodik. Biasanya dengan horison albik.
21. Planosol          : Tanah dengan horison albik di atas horison yang mempunyai
permeabilitas lambat misalnya horison argillik atau natrik dengan
perubahan tekstur yang tiba-tiba, lapisan liat berat, atau fragipan.
Menunjukkan sifat hidromorfik paling sedikit pada sebagian horison
albik.
22. Acrisol             : Tanah dengan horison argillik dan mempunyai KB kurang dari 50 %.
Tidak terdapat epipedon mollik.
23. Nitosol             : Tanah dengan horison argillik, dan kandungan liat tidak menurun lebih dari 20 % pada horison-horison di daerah horison penimbunan liat maksimum. Tidak terdapat epipedon mollik.
24. Ferrasol           : Tanah dengan horison oksik, KTK (NH4Cl) lebih 1,5 me/100 g liat.
Tidak terdapat epipedon umbrik.
26. Histosol           : Tanah dengan epipedon histik yang tebalnya 40 cm atau lebih.

* Kelemahan dan kelebihan dari masing-masing klasifikasi.
a) Sistem kalsifikasi tanah menurut PPT Bogor.

Kelebihan:
* Sistem ini disukai oleh pekerja lapangan pertanian karena mudah untuk diterapkan di lapangan.
* Selalu diperbaharui perkembangannya.
>  Penamaannya mudah untuk dihafal.



Kekurangan :

>  Banyak nama-nama baru, sehingga sedikit membingungkan.
>  Penamaannya tidak mempunyai ciri khusus dari klasifikasi tersebut, hanya mengadaptasi dari klasifikasi yang lain.
>  Dalam penamaan tidak disertakan sifat tanah.




* Sistem klasifikasi tanah menurut FAO/UNESCO.
Kelebihan : 

* Dapat diterima oleh semua pihak karena menggunakan perpaduan antara klasifikasi dari FAO sendiri dan dari USDA.
* Mempunyai ciri khas, karena dalam pengklasifikasiannya berdasarkan horison-horison penciri dan kriterian horisonnya.
* Nama-nama tanah sebagian diambil dari nama-nama klasik yang sudah terkenal di daerah eropa, rusia, kanada, dan amerika. Sehingga mudah dikenali.
* Cocok untuk peta skala 1:5.000.000.
Kekurangan : 

* Sistem ini lebih tepat disebut sebagai suatu sistem satuan tanah daripada suatu sistem klasifikasi tanah karena tidak disertaidengan pembagian kategori yang lebih terperinci hanya subgroup dan greatgroup.
* Dalam penamaan tidak secara langsung orang dapat mengetahui sifat tanah tersebut.

* Kelebihan dan kekurangan klasifikasi USDA
Sistem klasifikasi tanah ini berbeda dengan sistem yang sudah ada sebelumnya. Sistem klasifikasi ini memiliki kelebihan dari sistem klasifikasi tanah yang lain, yaitu diantaranya :

1.      Penamaan atau Tata Nama atau cara penamaan.
2.      Definisi-definisi horison penciri.
3.      Beberapa sifat penciri lainnya.
4.      Memungkinkan adanya modifikasi karena ada penemuan baru dengan tidak merusak     sistemnya sendiri.
5.      Sifat pembeda yang dikemukakan sama-sama berdasarkan kriteria horison penciri yang terbentuk sebagai hasil dari proses pembentukan tanah atau sifat yang mempengaruhi pembentukan tanah.
6.      Tata nama informatif dalam arti menunjukkan sifat-sifat tanah masing-masing kategori.

     Setiap klasifikasi pasti memiliki kelemahan, tidak terkecuali klasifikasi tanah USDA. Berikut kelemahan dari klasifikasi tanah USDA :
     
1.      Khususnya untuk negara berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci,
2.      Sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan.
3.      Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
4.      Tidak memeperhitungkan topografi tanah yang adalah salah satu sifat penentu jenis tanah
5.      Tidak sedikit terjadi asosiasi antara dua atau lebih jenis tanah yang berbeda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANALISIS POTENSI DAN PRODUK UNGGULAN KABUPATEN SITUBONDO

I.                         PENDAHULUAN Deskripsi Kabupaten Kabupaten Situbondo memiliki beragam potensi yang mampu menunjang pengemban...